Senin, 07 November 2011

PENGERTIAN urbanisasi sudah umum diketahui oleh mereka yang banyak bergelut di bidang kependudukan, khususnya mobilitas penduduk. Namun demikian, mereka yang awam dengan ilmu kependudukan sering kali kurang tepat dalam memakai istilah tersebut. Dalam pengertian yang sesungguhnya, urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Padahal perpindahan penduduk dari desa ke kota hanya salah satu penyebab proses urbanisasi, di samping penyebab-penyebab lain seperti pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah, maupun perubahan status wilayah dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, dan semacamnya itu.

Proses urbanisasi sangat terkait mobilitas maupun migrasi penduduk. Ada sedikit perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat menetap di daerah yang baru. Sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II dan sekaligus berniat menetap di daerah yang baru tersebut. Di dalam pelaksanaan perhitungannya, data yang ada sampai saat ini baru merupakan data migrasi penduduk dan bukan data mobilitas penduduk. Di samping itu, data migrasi pun baru mencakup batasan daerah tingkat I. Dengan demikian, seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika propinsi tempat tinggal orang tersebut sekarang ini, berbeda dengan propinsi dimana yang bersangkutan dilahirkan. Selain itu seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika propinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan propinsi tempat tinggalnya lima tahun yang lalu.

Oleh karena itu, pemerintah di samping mengembangkan kebijaksanaan pengarahan persebaran dan mobilitas penduduk, termasuk di dalamnya urbanisasi, juga berkewajiban menyempurnakan sistem pencatatan mobilitas dan migrasi penduduk agar kondisi data yang ada lebih sesuai kondisi di lapangan. Terutama bila diperlukan untuk perumusan suatu kebijakan kependudukan.

Perkembangan urbanisasi
Di masa mendatang, para ahli kependudukan memperkirakan bahwa proses urbanisasi di Indonesia akan lebih banyak disebabkan migrasi desa-kota. Perkiraan ini didasarkan pada makin rendahnya pertumbuhan alamiah penduduk di daerah perkotaan, relatif lambannya perubahan status dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan, serta relatif kuatnya kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan yang “urban bias”, sehingga memperbesar daya tarik daerah perkotaan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan . Itulah sebabnya di masa mendatang, isu urbanisasi dan mobilitas atau migrasi penduduk menjadi sulit untuk dipisahkan dan akan menjadi isu yang penting dalam kebijaksanaan kependudukan di Indonesia.

Jika di masa lalu dan dewasa ini, isu kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas) masih mendominasi kebijaksanaan kependudukan, di masa mendatang manakala tingkat kelahiran dan kematian sudah menjadi rendah, ukuran keluarga menjadi kecil, dan sebaliknya kesejahteraan keluarga dan masyarakat meningkat, maka keinginan untuk melakukan mobilitas bagi sebagian besar penduduk akan semakin meningkat dan terutama yang menuju daerah perkotaan.

Jika pada tahun 1980 migran di Indonesia berjumlah 3,7 juta jiwa, maka angka tersebut meningkat menjadi 5,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan sedikit menurun menjadi 4,3 juta jiwa pada periode 1990-1995. Secara kumulatif diketahui bahwa sampai tahun 1980, jumlah penduduk Indonesia yang pernah melakukan migrasi adalah 11,4 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 17,8 juta jiwa.
Lebih lanjut, data survei penduduk antarsensus (Supas) 1995 memperlihatkan bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.

Gambaran pertumbuhan penduduk daerah perkotaan itu dapat dicermati dari Tabel.
Meningkatnya proses urbanisasi tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif dengan meningkatnya urbanisasi di suatu wilayah. Ada kecenderungan bahwa aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki tingkat konsentrasi penduduk yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan.

Di sini dapat dilihat adanya keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih mudah memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan . Dengan demikian, urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat.
Jika urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar, mengapa proses urbanisasi tetap harus dikendalikan atau diarahkan? Ada dua alasan mengapa urbanisasi perlu diarahkan.

Pertama, pemerintah berkeinginan untuk sesegera mungkin meningkatkan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa meningkatnya penduduk daerah perkotaan akan berkaitan erat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara. Data memperlihatkan bahwa suatu negara atau daerah dengan tingkat perekonomian yang lebih tinggi, juga memiliki tingkat urbanisasi yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja.

Kedua, terjadinya tingkat urbanisasi yang berlebihan, atau tidak terkendali, dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada penduduk itu sendiri. Ukuran terkendali atau tidaknya proses urbanisasi biasanya dikenal dengan ukuran primacy rate, yang kurang lebih diartikan sebagai kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu negara atau wilayah terhadap kota-kota di sekitarnya. Makin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang baik dalam proses urbanisasi. Sayangnya data mutahir mengenai primacy rate di Indonesia tidak tersedia.

Kebijaksanaan urbanisasi di Indonesia
Ada dua kelompok besar kebijaksanaan pengarahan urbanisasi di Indonesia yang saat ini sedang dikembangkan.

Pertama, mengembangkan daerah-daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan. Upaya tersebut sekarang ini dikenal dengan istilah “urbanisasi pedesaan “.
Kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, atau dikenal dengan istilah “daerah penyangga pusat pertumbuhan”.

Kelompok kebijaksanaan pertama merupakan upaya untuk “mempercepat” tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat “non-ekonomi”. Bahkan perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlu didorong pertumbuhan daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri perkotaan, namun tetap “dikenal” pada nuansa pedesaan. Dengan demikian, penduduk daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai “orang kota” walaupun sebenarnya mereka masih tinggal di suatu daerah yang memiliki nuansa pedesaan .

Beberapa cara yang sedang dikembangkan untuk mempercepat tingkat urbanisasi tersebut antara lain dengan “memodernisasi” daerah pedesaan sehingga memiliki sifat-sifat daerah perkotaan. Pengertian “modernisasi” daerah pedesaan tidak semata-mata dalam arti fisik, seperti misalnya membangun fasilitas perkotaan, namun membangun penduduk pedesaan sehingga memiliki ciri-ciri modern penduduk perkotaan. Dalam hubungan inilah lahir konsep “urbanisasi pedesaan”. Konsep “urbanisasi pedesaan” mengacu pada kondisi di mana suatu daerah secara fisik masih memiliki ciri-ciri pedesaan yang “kental”, namun karena “ciri penduduk” yang hidup didalamnya sudah menampakkan sikap maju dan mandiri, seperti antara lain mata pencaharian lebih besar di nonpertanian, sudah mengenal dan memanfaatkan lembaga keuangan, memiliki aspirasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan, dan sebagainya, sehingga daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan.

Dengan demikian, apa yang harus dikembangkan adalah membangun penduduk pedesaan agar memiliki ciri-ciri penduduk perkotaan dalam arti positif tanpa harus merubah suasana fisik pedesaan secara berlebihan. Namun, daerah pedesaan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan. Sudah barang tentu bersamaan dengan pembangunan penduduk pedesaan tersebut diperlukan sistem perekonomian yang cocok dengan potensi daerah pedesaan itu sendiri. Jika konsep urbanisasi pedesaan seperti di atas dapat dikembangkan dan disepakati, maka tingkat urbanisasi di Indonesia dapat dipercepat perkembangannya tanpa merusak suasana tradisional yang ada di daerah pedesaan dan tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi. Bahkan sebaliknya, dengan munculnya “para penduduk” di daerah “pedesaan” yang “bersuasana perkotaan” tersebut, mereka dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan ekosistem serta lingkungan alam.

Kelompok kebijaksanaan kedua merupakan upaya untuk mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan. Pada kelompok ini, kebijaksanaan pengembangan perkotaan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu:

(a) kebijaksanaan ekonomi makro yang ditujukan terutama untuk menciptakan lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembangan kegiatan ekonomi perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan peraturan dan prosedur investasi, penetapan suku bunga pinjaman dan pengaturan perpajakan bagi peningkatan pendapatan kota;

(b) penyebaran secara spesial pola pengembangan kota yang mendukung pola kebijaksanaan pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang, serasi dan berkelanjutan, yang secara operasional dituangkan dalam kebijaksanaan tata ruang kota/ perkotaan, dan

(c) penanganan masalah kinerja masing-masing kota.
Dengan demikian, kebijaksanaan pengembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini dilandasi pada konsepsi yang meliputi: (i) pengaturan mengenai sistem kota-kota; (ii) terpadu; (iii) berwawasan lingkungan, dan (iv) peningkatan peran masyarakat dan swasta. Dengan makin terpadunya sistem-sistem perkotaan yang ada di Indonesia, akan terbentuk suatu hierarki kota besar, menengah, dan kecil yang baik sehingga tidak terjadi “dominasi” salah satu kota terhadap kota-kota lainnya.
Urbanisasi merupakan proses yang wajar dan tidak perlu dicegah pertumbuhannya. Karena, proses urbanisasi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Namun demikian, proses urbanisasi tersebut perlu diarahkan agar tidak terjadi tingkat primacy yang berlebihan. Pada saat ini pemerintah telah mengembangkan dua kelompok kebijaksanaan untuk mengarahkan proses urbanisasi, yaitu mengembangkan apa yang dikenal dengan istilah “urbanisasi pedesaan” dan juga mengembangkan “pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru”.

Diharapkan dengan makin bertumbuhnya daerah pedesaan dan juga menyebarnya daerah-daerah pertumbuhan ekonomi, sasaran untuk mencapai tingkat urbanisasi sebesar 75 persen pada akhir tahun 2025, dan dibarengi dengan makin meratanya persebaran daerah perkotaan, akan dapat terwujud.

(* Prijono Tjiptoherijanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Sumber : http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2007/10/05/urbanisasi-mobilitas-dan-perkembangan-perkotaan-di-indonesia/

Artikel : Kepribadian, Masyarakat dan Budaya

Ada tiga sisi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kehidupan kita yaitu kepribadian, masyarakat dan kebudayaannya. Kepribadian menunjukkan perilaku indevidu yang ditentukan oleh faktor sifat lahir dari indevi du dan mileu atau lingkungan peribadi seseorang. Pengertian masyarakat menunjukkan pada sejumlah orang yang tergabung menjadi satu kesatuan, menjadikan mereka senasib dan setujuan , sedangkan kebudayaan menunjukkan pola -pola peri kelakuan yang khas dari masyarakat tersebut.
Kehidupan manusia pasti bersifat komunal, tanpa orang lain tidak mungkin ada pergaulan disana, apalagi dengan kehidupan dewasa ini hampir tiap sudut daerah mempunyai masyarakat yang majemuk, karenanya secara filosofis maka masing-masing indevidu atau masyarakat membatasi diri menjaga keseimbangan kerukunan hidup berdampingan dengan orang lain. Apa yang ada didalam fikiran kita belum tentu sama dengan ide orang lain, masing-masing indevidu dan masing-masing orang  memiliki privasi. Untuk menjaga ketertiban secara nyata pada sisi kerukunan hidup maka terbentuk adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dengan pola kehidupan berbudi pekerti. Dan lebih jauh lagi untuk menjamin ketertiban didalam masyarkat yang majemuk terbentuk hukum yang mengatur pergaulan hidup masyarakat, sesuai dengan adat dan budaya setempat. Dan untuk menjamin tegaknya hukum maka terbentuk juga sangsi hukum bagi pelanggarannya dan didukung oleh prasarana dan lembaga hukumnya.
Semakin majemuk masyarakat maka tehnologi dan budaya semakin meningkat, pengembangan hukum melalui peningkatan ilmu hukum sangat diperlukan disini. Banyaknya kasus-kasus yang terjadi pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang memaksakan ide atau gagasannya kepada orang atau kelompok masyarakat lainnya.  Hal ini tentu beralasan karena hal ini masuknya ranah politik kalangan masyarakat itu untuk memperoleh kekuasaan. Kita tahu bahwa kekuasaan itu adalah posisi yang utama yaitu menjadi pemimpin, seseorang manakala menduduki posisi ini maka kehidupan harkat dan martabat nya didepan warganya akan lebih mulia dan hidupnya lebih senang karena ia memiliki kekuasaan, dengan kekuasaannya dia dapat memperoleh dan berbuat apa yang dia kehendaki. Inilah yang perlu menjadi pemikiran bagi para calon-calon pemimpin, karena dalam suatu kehidupan ada sesuatu moral yang membatasi kita untuk menetapkan bahwa posisi kepemimpinan itu tidak lebih daripada amanah. Janganlah kita menyimpang dari amanah itu, tetaplah kita memimpin dengan  peribadi yang sesuai seperti kita sebelum menjadi seorang yang diberi amanah, dan jangan lupa bahwa kita hidup didalama masyarakat dimana kita dilahirkan, sesuaikanlah dengan budaya awal dan bilamana ada budaya yang memang baik untuk diadaptasi buat negeri kita tidak salahnya bila kita kembangkan sesuai dengan keperibadian yang ada. Pada ahirnya marilah kita  melakukan amal-amal yang lebih bermanfaat untuk kemaslahatan masyarakat. Kita sekarang sedang membenahi diri bahwa negeri kita sedang sakit korupsi merajalela, orang kaya menindas orang miskin, hidup saling berebut bahkan tulangpun diperebutkan, ini yang perlu kita reduksi bukan menambah permasalahan. Hidup berdampingan saling asah saling asuh dan asih, merupakan filosofi kemasyarakatan bila hal ini kta pegang teguh tak kan ada saling sikut dan saling curiga satu sama lain.

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/08/kepribadian-masyarakat-dan-budaya/